Sejarah Masuknya Agama Islam di Sumenep
Sejarah | dibaca : 691 kali
Ditayangkan: 24-05-2011 | oleh : Lontar Madura | Kategori:
Tadjul Arifien R
Di
Sumenep, masyarakat banyak mengetahui bahwasanya penyebar agama Islam
adalah Syayyid Ahmadul Baidhawi atau yang dikenal dengan Pangeran
Katandur sekitar pemerintahan Pangeran Lor dan Pangeran Wetan atau
sekitar tahun 1550-an yang kuburannya berada di desa Bangkal sebelah
Timur kota Sumenep dan dikenal dengan nama Asta Sabu. Jauh sebelumnya
atau sekitar tahun 1400-an ada juga ulama penyebar agama Islam yang
bernama Raden Bindara Dwiryopodho dikenal dengan nama Sunan Paddusan,
namun menurut cerita para pengamat sejarah masih ada penyiar agama Islam
yang lebih awal di Sumenep, yakni sekitar pemerintahan Panembahan
Joharsari di tahun 1330-an, yang ceritanya sebagai berikut.
Sebelum menceritakan tentang masuknya agama Islam di Sumenep, maka
terlebih dahulu akan dijelaskan tentang masuknya agama Islam di
Indonesia, terutama ke pulau Jawa, agar tidak terjadi kebingungan bagi
para pembaca, juga karena hal tersebut sangat mempunyai kaitan sangat
erat. Didalam mengutarakannya nanti akan dibagi dua fase yakni fase
pertama dan kedua.
Masuknya Agama Islam di Indonesia
Berbicara tentang masuknya agama Islam di Indonesia (Nusantara), para peneliti sejarah telah melakukan seminar sebanyak dua kali yang membahas masalah tersebut yakni di Medan dan Aceh. Yang dalam kesimpulannya Seminar di Medan (Saifudin Zuhri, 1981, h, 176) maupun Seminar Aceh (Hasjimy, 1981, h. 12) serta penilaian ulang dari teori-teori tentang kedatangan Islam (Azzumardi Azra, 1995, h. 24-36) memperkuat pendapat bahwa kedatangan Islam di Nusantara adalah pada abad pertama hijriyah atau sama dengan abad ke tujuh dan delapan masehi, dan langsung dari Arab, melalui kontak perdagangan Internasional.
Sehubungan dengan ini perlulah kiranya ditekankan bahwa jauh sebelum abad ketujuh Masehi telah terjalin hubungan ekonomi – dagang antara bangsa Arab denga bangsa Indonesia, yaitu sejak awal tahun masehi, atau tepatnya sebelum runtuhya kerajaan Himyar di Yaman (A. Muhyiddin Al Allusi, 1992, h. 12). Karenanya dapat dipastikan bahwa sebelum kedatangan agama Islam telah terdapat komunitas-komunitas pedagang Arab yang bermukim ditempat-tempat peristirahatan (pelabuhan) termasuk di Nusantara. Dari kondisi yang demikian akan timbul problema yang terkait dengan perembesan budaya lokal yang sejauh mana terhadap penyebaran serta perkembangan agama Islam selanjutnya.
Kiranya perlu dipelajari lebih jauh tentang :
Pada dasarnya dalam penyebaran Islam di Nusantara, kiranya tidak dapat terlepas dari kurun waktu abad ketujuh, kesebelas, kedua belas, serta kelima belas termasuk pusat-pusat perkembangannya. Secara sepintas, walaupun tipis sekali perbedaannya, kiranya dapat dikenali tiga pusat pengembangan beserta pola-polanya.
Pertama; Pola Aceh, pola ini menunjukkan ke arah pembentukan tradisi yang bercorak integratif. Ciri yang demikian ini nampak antara lain pada prinsip bahwa : Islam dipandang sebagai landasan utama untuk bermasyarakat dan berkehidupan pribadi. Islam merupakan unsur yang dominan dalam komunitas kognitif yang baru maupun dalam paradigma politik yang dipakai sebagai ukuran kewajaran. Ulama dalam sejarah Aceh menjadi perumus realitas dan pengesah kekuasaan.
Kedua; Pola Jawa, di Jawa komunitas pedagang mendapat tempat dalam pusat-pusat kekuasaan pada abad ke sebelas. Kedudukan Walisongo dalam menyebarkan agama ke masyarakat dan masuk ke dalam keraton tak tersangsikan. Posisi Demak yang menjadi pusat hegemoni politik dan juga sebagai pusat penyebaran agama (Islam) menghadapi dua hal yaitu legitimasi politik dan panggilan kultural untuk kesinambungan. Konsep kekuasaan lama dalam bentuk “pulung” terus berlaku. Perpindahan keraton dari pesisir (Demak) ke pedalaman (Pajang) menyebabkan tiga lembaga utama yakni keraton sebagai pusat kekuasaan, pasar sebagai pusat pertemuan masyarakat, serta pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam, terpisahkan. Jalur melalui pesantren menjadi sangat penting, karena memiliki azas-azas keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong dan mandiri, kekeluargaan serta kebebasan (A. Muhdlor, 1975, h. 147).
Ketiga ; adalah Pola Sulawesi Selatan, yaitu Pola islamisasi melalui keraton (pusat kekuasaan). Proses ini berlangsung dalam suatu struktur kerajaan yang telah memiliki basis legitimasi geneologis. Proses yang demikian terjadi pula di Maluku, Banjarmasin, Gowa-Tallo, dan Ternate. Karenanya pengiriman para bangsawan (putra Raja) ke pusat pendidikan Islam (Pesantren) di Jawa untuk belajar agama Islam, setelah studinya selesai menyebarkan Islam diwilayahnya.
Selanjutnya, para ahli sejarah telah sepakat bahwa Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, sekalipun dalam waktu yang sama berdiri kerajaan Islam Perlak. Seorang pengembara dunia yang bernama Marcopolo dari italia yang hidup pada tahun 1254 – 1324 pernah mengadakan perjalanan kedaratan China, dalam perjalanannya singgah dikerajaan Pasai dan Perlak.
Singgahnya di Perlak pada tahun 1292 masehi, dan berjumpa dengan Raja Pasai bernama Al Malik Al Saleh yang menjadi Raja Pasai kedua belas selama 24 tahun, yakni dari tahun 1276 hingga tahun 1300 masehi, beliau ber-audensi dengan Marcopolo pada tahun tersebut diatas. Tapi sebelum itu ada Raja Pasai yang bernama Al Malik Al Saleh yang nama aslinya Abdul Jalil Al Malik Al Saleh yang memerintah pada tahun 1027 sampai 1053 jadi selama 26 tahun, Raja ini sebagai Raja Pasai yang kedua, dan namanya sangat masyhur. Karena kemasyhurannya hingga terdengar ketelinga Syarif Makkah, yang kemudian Beliau mengutus Duta Istimewa bernama Syeikh Ismail.
Sesuai dengan catatan sejarah ketika Daulah Fatimiyah di Mesir yang bermahdzab Syafi’ie merupakan pusat dunia Islam setelah berakhirnya Daulah Abbasiyah di Baghdad. Sedangkan Syarif Makkah merupakan penguasa dibawah protektorat (perlindungan) Daulah Fatimiyah, dan bisa dimungkinkan bahwasanya Mesir mempunyai politis spiritual, yang ternyata antara Mesir dan Pasai sama-sama penganut mahdzab Syafi’ie, juga Syarif Makkah sebagai penguasa Ka’bah kala itu mempunyai kepentingan politik dan spiritual, maka jalinan persahabatan antara Mesir, Makkah, dan Pasai mempunyai landasan yang amat kokoh. Termasuk hubungan kebudayaan dan ekonomi, apalagi Mesir merupakan tempat persinggahan lalu lintas ekonomi antara Barat dan Timur, sedangkan Pasai merupakan gudangnya rempah-rempah yang digandrungi dunia terutama Eropa.
Juga seperti yang diungkapkan oleh Prof. H. Moh. Yamin, SH bahwa yang sama dengan ahli sejarah yang lain bahwa di Leran Gresik ada sebuah cungkup tua yang bertuliskan Arab, sebagai kuburan seorang muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun bin Al Qadir Billah, dengan memakai hari tangal : Jumat 7 Rajab 495 hijriyah yang bersamaan dengan tanggal 27 April 1102 masehi, atau bersamaan dengan pemerintahan putra Airlangga yang bernama Shri Samarawijaya yang memerintah pada tahun 1048 hingga tahun 1115 masehi.
Masuknya Agama Islam di Indonesia
Berbicara tentang masuknya agama Islam di Indonesia (Nusantara), para peneliti sejarah telah melakukan seminar sebanyak dua kali yang membahas masalah tersebut yakni di Medan dan Aceh. Yang dalam kesimpulannya Seminar di Medan (Saifudin Zuhri, 1981, h, 176) maupun Seminar Aceh (Hasjimy, 1981, h. 12) serta penilaian ulang dari teori-teori tentang kedatangan Islam (Azzumardi Azra, 1995, h. 24-36) memperkuat pendapat bahwa kedatangan Islam di Nusantara adalah pada abad pertama hijriyah atau sama dengan abad ke tujuh dan delapan masehi, dan langsung dari Arab, melalui kontak perdagangan Internasional.
Sehubungan dengan ini perlulah kiranya ditekankan bahwa jauh sebelum abad ketujuh Masehi telah terjalin hubungan ekonomi – dagang antara bangsa Arab denga bangsa Indonesia, yaitu sejak awal tahun masehi, atau tepatnya sebelum runtuhya kerajaan Himyar di Yaman (A. Muhyiddin Al Allusi, 1992, h. 12). Karenanya dapat dipastikan bahwa sebelum kedatangan agama Islam telah terdapat komunitas-komunitas pedagang Arab yang bermukim ditempat-tempat peristirahatan (pelabuhan) termasuk di Nusantara. Dari kondisi yang demikian akan timbul problema yang terkait dengan perembesan budaya lokal yang sejauh mana terhadap penyebaran serta perkembangan agama Islam selanjutnya.
Kiranya perlu dipelajari lebih jauh tentang :
- Bagaimana posisi Nusantara dalam hubungan Internasional tersebut, apakah sebagai tempat persinggahan ataukah sebagai tempat tujuan utama.
- Bagaimana peran Muballigh bangsa Indonesia pada periode awal penyebaran agama Islam ?
Pada dasarnya dalam penyebaran Islam di Nusantara, kiranya tidak dapat terlepas dari kurun waktu abad ketujuh, kesebelas, kedua belas, serta kelima belas termasuk pusat-pusat perkembangannya. Secara sepintas, walaupun tipis sekali perbedaannya, kiranya dapat dikenali tiga pusat pengembangan beserta pola-polanya.
Pertama; Pola Aceh, pola ini menunjukkan ke arah pembentukan tradisi yang bercorak integratif. Ciri yang demikian ini nampak antara lain pada prinsip bahwa : Islam dipandang sebagai landasan utama untuk bermasyarakat dan berkehidupan pribadi. Islam merupakan unsur yang dominan dalam komunitas kognitif yang baru maupun dalam paradigma politik yang dipakai sebagai ukuran kewajaran. Ulama dalam sejarah Aceh menjadi perumus realitas dan pengesah kekuasaan.
Kedua; Pola Jawa, di Jawa komunitas pedagang mendapat tempat dalam pusat-pusat kekuasaan pada abad ke sebelas. Kedudukan Walisongo dalam menyebarkan agama ke masyarakat dan masuk ke dalam keraton tak tersangsikan. Posisi Demak yang menjadi pusat hegemoni politik dan juga sebagai pusat penyebaran agama (Islam) menghadapi dua hal yaitu legitimasi politik dan panggilan kultural untuk kesinambungan. Konsep kekuasaan lama dalam bentuk “pulung” terus berlaku. Perpindahan keraton dari pesisir (Demak) ke pedalaman (Pajang) menyebabkan tiga lembaga utama yakni keraton sebagai pusat kekuasaan, pasar sebagai pusat pertemuan masyarakat, serta pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam, terpisahkan. Jalur melalui pesantren menjadi sangat penting, karena memiliki azas-azas keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong dan mandiri, kekeluargaan serta kebebasan (A. Muhdlor, 1975, h. 147).
Ketiga ; adalah Pola Sulawesi Selatan, yaitu Pola islamisasi melalui keraton (pusat kekuasaan). Proses ini berlangsung dalam suatu struktur kerajaan yang telah memiliki basis legitimasi geneologis. Proses yang demikian terjadi pula di Maluku, Banjarmasin, Gowa-Tallo, dan Ternate. Karenanya pengiriman para bangsawan (putra Raja) ke pusat pendidikan Islam (Pesantren) di Jawa untuk belajar agama Islam, setelah studinya selesai menyebarkan Islam diwilayahnya.
Selanjutnya, para ahli sejarah telah sepakat bahwa Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, sekalipun dalam waktu yang sama berdiri kerajaan Islam Perlak. Seorang pengembara dunia yang bernama Marcopolo dari italia yang hidup pada tahun 1254 – 1324 pernah mengadakan perjalanan kedaratan China, dalam perjalanannya singgah dikerajaan Pasai dan Perlak.
Singgahnya di Perlak pada tahun 1292 masehi, dan berjumpa dengan Raja Pasai bernama Al Malik Al Saleh yang menjadi Raja Pasai kedua belas selama 24 tahun, yakni dari tahun 1276 hingga tahun 1300 masehi, beliau ber-audensi dengan Marcopolo pada tahun tersebut diatas. Tapi sebelum itu ada Raja Pasai yang bernama Al Malik Al Saleh yang nama aslinya Abdul Jalil Al Malik Al Saleh yang memerintah pada tahun 1027 sampai 1053 jadi selama 26 tahun, Raja ini sebagai Raja Pasai yang kedua, dan namanya sangat masyhur. Karena kemasyhurannya hingga terdengar ketelinga Syarif Makkah, yang kemudian Beliau mengutus Duta Istimewa bernama Syeikh Ismail.
Sesuai dengan catatan sejarah ketika Daulah Fatimiyah di Mesir yang bermahdzab Syafi’ie merupakan pusat dunia Islam setelah berakhirnya Daulah Abbasiyah di Baghdad. Sedangkan Syarif Makkah merupakan penguasa dibawah protektorat (perlindungan) Daulah Fatimiyah, dan bisa dimungkinkan bahwasanya Mesir mempunyai politis spiritual, yang ternyata antara Mesir dan Pasai sama-sama penganut mahdzab Syafi’ie, juga Syarif Makkah sebagai penguasa Ka’bah kala itu mempunyai kepentingan politik dan spiritual, maka jalinan persahabatan antara Mesir, Makkah, dan Pasai mempunyai landasan yang amat kokoh. Termasuk hubungan kebudayaan dan ekonomi, apalagi Mesir merupakan tempat persinggahan lalu lintas ekonomi antara Barat dan Timur, sedangkan Pasai merupakan gudangnya rempah-rempah yang digandrungi dunia terutama Eropa.
Juga seperti yang diungkapkan oleh Prof. H. Moh. Yamin, SH bahwa yang sama dengan ahli sejarah yang lain bahwa di Leran Gresik ada sebuah cungkup tua yang bertuliskan Arab, sebagai kuburan seorang muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun bin Al Qadir Billah, dengan memakai hari tangal : Jumat 7 Rajab 495 hijriyah yang bersamaan dengan tanggal 27 April 1102 masehi, atau bersamaan dengan pemerintahan putra Airlangga yang bernama Shri Samarawijaya yang memerintah pada tahun 1048 hingga tahun 1115 masehi.
Tulisan diatas menyalin dari : Sejarah Masuknya Agama Islam di Sumenep (Bag. 1) » Lontar Madura http://lontarmadura.com/sejarah-masuknya-agama-islam-di-sumenep-bag-1-2/#ixzz2RM9TTsKk
Harap mencatumkan link sumber aktif
makasih atas infonya.
BalasHapus